
Transjakarta yang semula digadang-gadang untuk memberikan solusi atas kemacetan di Jakarta, ternyata belum mampu menjawab permasalahan kronis ini. Permasalahan yang paling klasik adalah tidak seimbangnya antara permintaan dengan penawaran yang ada. Saya tidak tahu persis berapa angka penumpang yang diangkut setiap harinya oleh kendaraan ini. Namun, yang jelas terlihat, hampir sepanjang hari penumpang berdiri dan sering berdesakan. Sangat tidak manusiawi, mengingat falsafah dasar penciptaan kendaraan adalah agar penumpang manusia dapat duduk nyaman dari tempat asal ke tujuannya. Lha wong naik kuda saja penumpangnya duduk 
Selain penuh, berdiri berdesakan yang mengakibatkan rawan terjadinya tindak kejahatan (pencopetan hingga pelecehan seksual), kondisi ini juga menyebabkan tingkat stress pengguna angkutan ini semakin tinggi. Ibaratnya, dengan adanya busway tidak lebih baik karena mengambil satu lajur tersendiri dari jalanan yang ada.
Waktu tunggu yang tidak pasti dan bisa sangat lama juga menambah angka merah kualitas pelayanan ini. Lihatlah halte transit Dukuh Atas tempat peralihan dari koridor Blok M – Kota dengan Ragunan dan Rawamangun. Hampir dipastikan calon penumpang yang akan berpindah dari koridor I ini antri bertumpuk-tumpuk hingga ke bordes bagian atas. Panjangnya tentu puluhan meter.
Di sini jelas terlihat Pemda DKI tidak mampu mengundang pihak-pihak yang berkompeten untuk mengadakan armada bus. Padahal kurang apakah jalur busway ini ? Jalur dijamin, steril dari kendaraan lain, load faktor sangat tinggi (bahkan overload), dilindungi peraturan perundangan yang spesial.
Masih jauh lebih berprestasi PO Sumber Kencono yang 213 armadanya baru, PO Mira dengan seratusan armada yang juga cling, maupun Haryanto dan Nusantara yang melayani trayek pantura. Padahal perusahaan swasta ini harus menangis darah untuk bisa bertahan hidup, apalagi dengan desakan bertubi-tubi seperti kepada Sumber Kencono yang akan dicabut izinnya. Ibaratnya, Transjakarta ini sambil tidur saja tetap mendatangkan keuntungan yang signifikan.
Pembangunan halte transit juga kurang memadai dan tidak nyaman. Halte Semanggi dan Karet adalah salah satunya. Jaraknya teramat jauh sehingga melelahkan, Mungkin ini karena tidak boleh merusak tata ruang kawasan Semanggi. Ketiadaan halte di depan gedung MPR juga menunjukkan iktikad tidak baiknya pelayanan busway karena tentu anggota dewan yang terhormat malas naik busway untuk pergi ke kantornya karena harus berjalan jauh.
Jumlah titik singgung transit yang terbatas juga memberi andil penumpukan penumpang di halte transit yang jumlahnya sangat sedikit, tidak berimbang dengan jumlah penumpang yang membludak. Harmoni salah satunya.
Langkah Perbaikan
Untuk itu agar keberadaan busway Transjakarta tidak mubadzir dan menambah permasalahan kemacetan maka perlu diteliti lebih lanjut serta ditindaklanjuti hal-hal berikut :
- Berapa lama calon penumpang nyaman menunggu kedatangan busway ?
- Berapa banyak penumpang berdiri yang ditoleransi dalam batas nyaman ?
Dari data tersebut, nantinya pasti dapat ditentukan berapa angka pastinya kebutuhan armada busway ini yang harus dioperasikan pada masing-masing koridor termasuk dengan memperbanyak pada waktu-waktu sibuk di pagi dan sore hari. Saya ycaang sehari-hari ngantor di Kuningan, sudah tidak mau naik busway di sore hari karena untuk sekedar pergi ke Slipi dari Kuningan Barat harus berdesakan menunggu hampir sejam. Padahal waktu tempuhnya hanya belasan menit. Sementara menggunakan bus Mayasari Bhakti tersedia tiap beberapa menit dan kosong, bisa duduk. Atau bila tidak ada, naik Metro Mini 640 ke Komdak untuk kemudian disambung menggunakan bus ke Slipi.
Bila memang pemda tidak mampu mengundang peminat pada penyediaan busway transjakarta, sebaiknya mengundang perusahaan bus dari Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk membantu menyelesaikan kasus ini dan tidak perlu malu.
Lalu jika tidak juga diambil langkah yang signifikan untuk memaksimalkan keberadaan busway ini, maka sudah selayaknya keberadaan jalur busway yang hanya dikhususkan untuk Transjakarta dievaluasi karena jarang dilewati dan membuat macet parah. Salah satu solusinya yakni dengan memperbolehkan bus umum menggunakan jalur tersebut untuk melayani trayek, serta membuat pintu tambahan di sebelah kanan untuk menaik-turunkan penumpang di halte busway yang dilewatinya. Juga pembayaran yang dilakukan di pintu masuk halte ditiadakan dan diganti dengan kondektur seperti biasanya. Adapun retribusi kepada Pemda DKI dilakukan dengan sistem karcis tol, tiap kali lewat membayar sekian rupiah.
Jika ini tidak dilakukan, percayalah. Mungkin tidak sampai tahun 2015 Jakarta sudah akan stroke lalu-lintasnya. Pak Polisi dari Dirlantas Polda Metro Jaya pun pasti sudah tidak punya solusi untuk mengatasi hal ini, padahal tidak ada Si Komo yang lewat.